Advertisement
Suasana Persidangan Ahok ke-12 di Audotorium Kementan, Ragunan, Jakarta Selatan, 21 Februari 2017. (Foto: Ist) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta – Pidato Gubernur DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pada September 2016 dinilai sebagai penistaan agama,dan juga diyakini memiliki kepentingan politik, karena Surat Al-Maidah 51 yang disinggung dikaitkan dengan pilkada.
Demikian disampaikan Saksi Ahli Agama, Miftahul Akhyar, dalam persidangan Penodaan Agama dengan terdakwa Ahok yang digelar PN Jakarta Utara di Auditorium Kementerian Pertanian, Ragunan, Jakarta Selatan, Selasa 21 Februari 2017.
Miftahul lalu menjelaskan alasannya, mengapa Ahok disebutnya menistakan agama.
"Dia menyebut pada bagian pengucapan kata 'jangan percaya', yang disambung dengan, 'dibohongi dengan ayat', jelas bagian pidato Ahok itu yang dianggap menistakan agama," tegas Akhyar.
"Karena di situ ada kata-kata 'jangan percaya' lalu disambung dengan 'dibodohi, dibohongi pakai ayat', sedangkan penyampainya ini tidak punya kompeten," tambah Akhyar.
Akhyar juga mengatakan, pidato Ahok tersebut disampaikan yang bersangkutan mempunyai kepentingan politik, karena disampaikan dalam konteks pilkada DKI Jakarta.
"Ada kepentingan politik disitu, dan terdakwa mengatakan itu agar pemahaman yang ada selama ini (pada kaum Muslimin) menjadi berubah," tegas Akhyar.
Akhyar yang juga salah seorang pengurus PBNU ini, menyanyangkan sikap Ahok yang menafsirkan Surat Al- Maidah 51, padahal yang bersangkutan tidak punya kompetensi untuk menafsirkan itu.
.me