DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

12 February 2017, 06:17 WIB
Last Updated 2021-07-10T09:40:41Z
HeadlineISU

Dua Paslon Rasis, Diam-diam Ambil Keuntungan Kasus Hukum Ahok

Advertisement
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Dua pasangan yang bertarung pada Pilkada DKI Jakarta yakni, pasangan nomor 1 Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan pasangan nomor 3 Anies Baswedan dan Sandiaga Uno, diam-diam mengambil keuntungan politik atas kasus hukum Ahok, walau dengan itu keduanya bisa saja terstigma sebagai pribadi-pribadi yang menyetujui politik rasis dan diskriminatif,

Demikian disampaikan Koordnator Nasional ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput), Fatahillah Rizqi, ketika dihubungi per telepon, Minggu 12 Februari 2017.

Dari keempat figur tersebut, kata Fatahillah, hanya Sandiaga Uno yang berlatarbelakang sebagai pengusaha. Sedangkan Sylviana adalah mantan birokrat, Anies pernah menjabat menteri, dan juga Rektor. Agus sendiri, adalah mantan perwira TNI.

"Mengapa mereka diam saja, bahkan larut dalam skenario politik massa yang rasis dan tidak mencerminkan semangat demokrasi. Kemana lenyapnya pengetahuan mereka, dan mengapa doktrin bisa begitu saja luntur. Dan Agus, belum lama berhenti dari tentara, apakah  doktrik TNI yakni, Tri Dharma Eka Karma, sudah lenyap dari dadanya," kata Fatahillah.

Turutnya kedua paslon tersebut dalam skenario politik massa sangat terlihat pada saat-saat terakhir masa kampanye, yakni ketika aksi 112, Anies dan juga Agus terlihat ikutan shalat subuh berjamaah di Masjid Istiqlal, kata Fatahillah.

"Itu artinya, Agus dan Anies kan tidak pede (percaya diri), jadi mereka harus ikut apa maunya massa. Kalau mereka pede, kan, tidak perlu ikutan. Kalau mereka gak mau ambil keuntungan dari kebuntungan pihak lain, pasti mereka gak ikutan. Tapi ini kan politik di zaman bobrok, kalau ikutan malah dibilang cerdas, kan begitu, " kata Fatahillah.

Terlebih, sambung Fatahillah, pada saat itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memberikan kriteria pemimpin atau gubernur yang harus dipilih umat. Maka selanjutnya dilakukan sumpah dan baiat oleh para pemimpin umat kepada massa bahwa, mereka bersumpah akan memilih pemimpin muslim yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.

Artinya, jangan pilih Ahok yang non muslim, tapi pilihlah antara Agus atau Anies, karena keduanya muslim, KTP-nya beragama Islam, kata Fatahillah.

"Tidak ada yang salah dengan pilihan itu, hanya saja, jika gaya berpolitik Islam seperti itu, maka Islam jadi norak. Padahal tidak demikian, Islam itu, moderat, santun, demokratis, menjunjung keadilan dan kebenaran. Jadi, yang norak itu bukan Islam, tetapi para pemimpinya," terang Fatahillah.

Jangan Norak Jadi Islam

Tentang istilah 'norak' yang dipakainya menjadi istilah, Fatahillah menjelaskan, seharusnya hal-hal fundamental soal kepemimpinan itu diajarkan kepada umat dalam ruang-ruang tertutup, seperti pengajian, majlis taklim, di pesantren, bukan di ruang publik dalam aksi-aksi lapangan, juga tidak di media massa.

"Teriak-teriak di jalan, ppmpang spanduk, pake sumpah dan bait, segala. Dalam politik di bumi Pancasila, hal seperti itu menjadi tontonan politik porno, komunikasi politik yang kehilangan rasa kesulilaan, menurut saya begitu, jadi yang cerdaslah, pakailah teknik tinggi, jangan norak begitu, masak mau menang dengan cara norak, sih," kata Fatahllah.

Menurut Fatahillah, adalah sebuah hal logis. orang memilih wakil atau pemimpinnya yang segolongan dengan dirinya. Jadi dal demikian, tidak perlu diteriak-teriakan begitu, disumpah dibait, segala. Itu kan bikin Islam jadi norak, ketus Fatahillah.

Tapi soal satu golongan itu, kan, tidak sebatas KTP atau kopiah. Golongan kita itu kan, pemimpin yang amanah, tidak korup, mau bekerja keras dan bekerja benar, sayang kepada rakyatnya.

"Sekalipun dia muslim, KTP-nya Islam pangkat 7, tapi kalau kerjanya malingin duit rakyat, apakah itu pemimpin dari golongan muslim? kata Fatahillah dalam nada bertanya.

Karenanya, lanjut dia, agar umat Islam memilih pemimpinya yang seiman, maka syaratnyalah, haruslah diikuti dengan pengkaderan umat yang betul dan keras.

"Ahok dikriminalisasi, karena sadar, Ahok tidak bisa dikalahkan dengan cara-cara biasa, tetapi harus dengan carak yang norak. Buat saya, sangat jelas, Ahok dikriminalisasi demi kepentingan politik pihak tertentu," pungkas Fatahillah.

Dan kriminalisasi itu terpaksa dilakukan,  karena Islam tidak punya kader sebaik Ahok. Kita lalai melakukan pengkaderan. Itu harus jujur kita katakan, paling tidak kita katakan di dalam hati masing-masing, nujuk Fatahillah.

.dri