Advertisement
Rais Aam PBNU KH Mar'ruf Amin dan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU KH Said Aqil Siradj |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Dua pucuk pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terbelah dalam menyikapi pernyataan Presiden Joko Widodo soal keharusan pemisahan politik dan agama.
Presiden menyampaikan hal itu saat meresmikan Tugu Titik Nol Peradaban Islam Nusantara di Kecamatan Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat, 24 Maret 2017.
Presiden menyatakan Politik dan agama harus dipisah, agar rakyat tahu, mana yang politik dan mana yang agama.
Rais Aam PBNU KH Ma'ruf Amin menolak ide pemisahan politik dan agama, dan Ma'ruf menyatakan politik dan agama saling menguatkan dan menopang.
Ma'ruf yang juga Ketua Majelis Ulama Indonesia itu berbeda pandangan dengan Jokowi.
"Agama dan politik itu kan saling mempengaruhi, kehidupan politik kebangsaan itu juga harus memperoleh pembenaran dari agama, kalau enggak ya bagaimana?," kata Ma'ruf, di Hotel Crowne Plaza, Jakarta Pusat, Senin (27/3).
Ma'ruf menafsirkan pernyataan Jokowi tersebut sebagai cerminan sikap politik Presiden yang berpaham sekuler, yaitu paham yang memisahkan politik dari agama.
"Itu (agama dan politik) harus saling menguatkan tapi bukan dalam arti agama yang radikal. Ya mungkin yang dimaksud oleh Presiden itu paham-paham yang bertabrakan sehingga menimbulkan masalah," ujarnya.
Ketua MUI ini mengatakan, agama berfungsi mencari pembenaran. Sehingga tidak mungkin jika keduanya yakni agama dan politik dipisahkan.
"Tapi kalau tidak ada pembenaran dari agama bagaimana? Makanya agama, negara dan pancasila itu kan saling menopang saling menguatkan," ucap Ma'ruf.
Kalau Dicampur Jadi Galak
Berbeda halnya dengan Ketua Umum Tanfidziyah PBNU, Said Aqil Siradj, yang pandanganya sama dengan Presiden, dan ia menegaskan bahwa, agama tidak boleh disatukan dengan politik.
Said sepakat dengan Jokowi.
"Itu pendapat saya kok, tidak ada agama dalam politik dan tidak ada politik dalam agama. Itu pendapat saya," kata Said usai menghadiri acara pelantikan dan peringatan Harlah Muslimat NU ke-71 di Masjid Istiqlal, Jakarta, Selasa (28/3).
Ditegaskan Said Aqil, dari dulu dirinya selalu menolak jika politik melibatkan agama. "Pokoknya pendapat saya dari dulu itu," tegasnya.
Jika agama dicampuradukan dengan politik, semua orang akan lebih galak dan bersikap radikal. Bahkan, setiap orang akan lebih mudah mengkafirkan orang lain. Lalu ia mencontohkan fenomena Pilkada DKI Jakarta, yang mencampuradukan agama dengan politik.
"Politik kalau dicampurkan dengan agama akan galak, akan radikal, akan mudah mengkafirkan, akan mudah mengganggap oposan menjadi kafir," pungkas Said.
Pernyataan Presiden di Barus tersebut juga tidak terlepas dari fenomena Pilkada yang serentak digelar pada tahun 2017 ini, baik Pilgub ataupun Pilbup/Pilwalkot, terutama fenomena Pilkada DKI Jakarta, yang sarat dengan isu SARA.
"Memang gesekan kecil-kecil kita ini karena Pilkada. Benar nggak? Karena pilgub, pilihan bupati, pilihan walikota, inilah yang harus kita hindarkan," kata Presiden ketika di Barus.
Kepala Negara meminta tidak mencampuradukkan antara politik dan agama yang dapat berujung perpecahan dan konflik di masyarakat.
"Dipisah betul, sehingga rakyat tahu mana yang agama, mana yang politik," katanya.
.me