Tito Santiko
21 November 2025, 18:32 WIB
Last Updated 2025-11-21T11:32:18Z

Harapan Putusan Berkeadilan di Tipikor Bandung: Hakim Berdoa, Publik Menilai Kasus Tunjangan DPRD Banjar Bukan Pidana

Advertisement

 


BANJAR , MEJAHIJAU.NET – Suasana ruang sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jawa Barat, Jumat (21/11/2025), mendadak hening ketika Hakim Gatot Ardian Agustriono menengadahkan kedua tangan, memanjatkan doa usai mendengar replik jaksa dalam perkara dugaan korupsi tunjangan perumahan dan transportasi anggota DPRD Kota Banjar periode 2017–2021. Doa tersebut sontak diamini seluruh peserta persidangan.

"Mohon doa yah, semoga tanggal 26 [November] nanti bisa memberikan keputusan yang baik," ucap Gatot di hadapan kuasa hukum, jaksa, dan keluarga terdakwa.

Doa hakim itu dinilai publik sebagai gambaran harapan agar perkara yang menyeret Ketua DPRD Kota Banjar Dadang R Kaliyubi dan Sekretaris Dewan Rachmawati diputus dengan pertimbangan objektif. Banyak pihak sejak awal menilai perkara tunjangan anggota dewan bukan merupakan tindak pidana, melainkan persoalan administrasi tata pemerintahan.

Kasus ini berawal dari penghitungan kerugian negara oleh kejaksaan dan inspektorat terkait kebijakan tunjangan yang diatur dalam Peraturan Wali Kota Nomor 5a/2017 yang disahkan pada 26 Mei 2017. Permasalahan muncul setelah Kementerian Dalam Negeri menerbitkan ketentuan baru pada 2 Juni 2017, atau sepekan setelah Perwali ditetapkan. Rentang waktu tersebut dijadikan temuan dan menjadi dasar pemeriksaan terhadap Dadang dan Rachmawati sejak 14 Agustus 2024 hingga 3 Februari 2025.

Kuasa hukum Rachmawati, Namina Nina, menyebut proses hukum ini janggal karena pemeriksaan dilakukan tanpa adanya temuan formal dari inspektorat. Ia juga menegaskan laporan hasil kinerja Pemerintah Kota Banjar tahun anggaran 2017–2021 tetap meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK, tanpa mencatat adanya keanehan dalam tunjangan anggota DPRD.

“Inspektorat justru bersama-sama dengan kejaksaan melakukan pemeriksaan. Di sinilah letak keanehannya, yang bisa disebut kriminalisasi,” tegas Nina.

Sejak bergulir pada 14 Juli 2025, sidang telah menghadirkan 32 saksi, termasuk empat saksi ahli dari jaksa. Namun pembelaan menyatakan sebagian besar keterangan tidak mampu membuktikan unsur mens rea. Ahli hukum pidana Dr. Somawijaya menjadi salah satu yang menilai tindakan Rachmawati tidak memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum.

“Jika peraturan yang dijalankan adalah hukum positif yang berlaku, maka perbuatan itu tidak melawan hukum,” jelas Somawijaya dalam sidang 15 Oktober 2025.

Jaksa menaksir kerugian negara mencapai Rp3,52 miliar, setara kelebihan sekitar Rp1,2 juta per bulan untuk 48 anggota DPRD. Sejumlah mantan anggota DPRD, termasuk Mujamil, telah menyatakan kesediaan mengembalikan kelebihan tunjangan. Ironisnya, hingga kini tidak ada mekanisme resmi untuk pengembalian tersebut.

“Anggota DPRD mau mengembalikan kalau itu masuk temuan, tapi keukeuh dijadikan pidana,” kritik Nina.

Nada kriminalisasi kian menguat ketika presiden pada 20 November 2025 mengingatkan aparat penegak hukum untuk tidak “mencari-cari” perkara yang tidak ada. Pernyataan itu dianggap relevan dengan situasi di Banjar.

Rachmawati disebut menjadi “tumbal” karena pejabat lain yang menikmati tunjangan dan kepala daerah yang menandatangani Perwali tidak ikut terseret.

Putusan pada 26 November menjadi penentu apakah kasus ini berakhir sebagai preseden buruk penegakan hukum administratif atau sebagai koreksi terhadap proses hukum yang dianggap menyimpang. Masyarakat Banjar, para anggota dewan, serta keluarga terdakwa kini menunggu dengan cemas, sembari berharap doa hakim terkabul: keputusan yang baik dan berkeadilan.(T)