Advertisement
Pengacara Maqdir Ismail, SH (Suara Pembaruan/Ruth Semiono) |
MEJAHIJAU.net, Jakarta - Maqdir Ismail, kuasa hukum mantan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, Mohamad Sanusi mengatakan, pihaknya sebenarnya mau menerima putusan hakim yang memvonis klienya 7 tahun penjara, tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak puas, dan melakukan banding.
"KPK sudah banding, kami mau terima. Artinya, KPK tidak puas dengan putusan itu," kata Maqdir, melalui pesan singkat kepada wartawan, di Jakarta, Kamis, 5 Jarai 2017.
Alasan KPK banding, kata Maqdir, karena hakim tidak mengabulkan penyitaan atas tiga aset milik Sanusi, dan juga tidak mencabut hak-hak politik Sanusi.
Mengenai keinginan menyita 3 aset milik Sanusi, menurut Maqdir tidak beralasan, karena KPK tidak bisa membuktikan ketiga aset itu merupakan hasil tindak pidana.
Bahkan, tambah Maqdir, atas aset yang disetujui oleh hakim saja, KPK tidak bisa buktikan predicate crime-nya. Tidak bisa dibuktikan sebagai hasil kejahatan.
Juru Bicara KPK, Febri Diansyah mengatakan, pihaknya tetap akan melakukan banding atas putusan Majelis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta yang memvonis Sanusi hanya dengan hukuman penjara 7 tahun, karena jaksa menuntut 10 tahun.
Alasan lainya adalah, karena terdapat tiga aset dari 10 yang dimohonkan yang tidak diputuskan dirampas oleh hakim. Nilai aset diperkirakan mencapai Rp 20 milyar.
Upaya banding dilakukan KPK juga disebabkan majelis hakim tidak mencabut hak-hak politik Sanusi, tegas Febri.
Seperti diketahui, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menghukum Sanusi 7 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 2 bulan kurungan karena terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yakni menerima uang sejumlah Rp 2 milyar terkait pembahasan Raperda RTRKS Pantai Utara Jakarta dan pencucian uang sejumlah Rp 18,4 milyar.
Namun majelis hakim yang diketuai Sumpeno, menolak tuntutan jaksa untuk mencabut hak politik Sanusi dengan alasan, masalah pencabutan hak politik sudah ada undang-undang yang mengaturnya.
"Majelis hakim tidak sependapat karena hak politik itu sudah diatur undang-undang sendiri," ujar Sumpeno.
.viq