DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

29 January 2017, 17:09 WIB
Last Updated 2021-07-10T11:03:02Z
HeadlineKETUK PALUKORUPSIMeja HijauPENGACARAperistiwa

Saksi

Advertisement
Saksi, adalah orang yang menghadirkan kembali sebuah peristiwa pidana ke hadapan hukum melalui keterangan yang diberikanya baik dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), dakwaan, maupun ke muka persidangan, berdasarkan pengetahuan yang ia dengar, ia lihat dan ia alami sendiri

Saksi menurut Pasal 1 angka 26 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.

Karenanya pula, keterangan (yang diberikan) saksi berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP dinyatakan sebagai salah satu alat bukti,-- selain keterangan ahli, bukti surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.

Saksi yang demikian disebut saksi fakta, dan biasanya cukup disebut sebagai saksi.

Namun pengertian saksi mengalami perluasan, setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana, maka saksi tidak lagi sebatas orang yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu peristiwa pidana , tetapi termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.

Putusan ini dikeluarkan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan judicial review yang diajukan Yusril Ihza Mahendra, selaku mantan Menteri Hukum dan HAM, yang ingin agar Presiden dan Wakil Presiden yakni Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan juga Jusuf Kalla, dapat dihadirkan sebagai saksi untuk memberikan keterangan terkait dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya selaku Menteri Hukum dan HAM, pada waktu tersebut.

Namun demikian, putusan yang memperluas pengertian saksi ini lebih dimaksud kepada adanya hubungan tertentu antara pelaku pidana dengan saksi, dan dalam kasus Yusril Ihza Mahendra adalah hubungan antara atasan dan bawahan, yaitu antara Presiden dan Wakil Presiden, dengan Menteri yang berkedudukan sebagai pembantu Presiden (dan WakilPresiden).

Lalu sepantasnya saksi apakah kita menyebut saksi yang dimaksud putusan MK tersebut di atas?

Jika mengikuti sebutan yang diberikan MK, maka saksi tersebut disebut sebagai, "Saksi yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”. Tentu nama ini terlalu panjang.

Maka sebaiknya, dan tidak ada salahnya jika saksi yang disebut putusan MK tersebut kita sebut sebagai Saksi Non Fakta Terkait Pelaku Pidana (NFTPP).

Kembali kepada gugatan Yusril Ihza Mahendra, jelas tujuan akhir dari petitum yang dibuat adalah agar Presiden dan Wakil Presiden, selaku atasanya sebagai Menteri, bisa ditarik ke muka persidangan dan memberikan keterangan tentang kebijakan yang diambilnya selaku pembantu Presiden (dan Wakil Presiden), yang mana kebijakanya oleh penegak hukum dinilai telah memenuhi unsur delik korupsi.

Karenanya potret saksi NFTPP yang dimaksud putusan MK adalah adalah saksi Non Fakta (karena tidak melihat, mendengar dan tidak mengetahui sendiri perbuatan materil pidana), namun Terkait Pelaku Pidana (memiliki hubungan khusus dengan pelaku pidana, sehingga dapat memberikan keterangan baik dalam proses penyidikan, penununtan dan peradilan, demi mengungkap kebenaran materil).

Berbeda dengan saksi fakta, maka saksi ahli, adalah orang yang dengan kapasitas keilmuan dan pengalamanya memberikan pandangan apakah sebuah peristiwa termasuk perbuatan pidana atau bukan. Dan jika termasuk perbuatan pidana, bagaimana hal itu terjadi, dan apa saja akibatnya, juga terkadang dituntut menjelaskan hal tertentu atau kejadian tertentu di dalam sebuah perkara pidana, baik itu menyangkut modus operandi, mekanisme, alat, sifat, ukuran-ukuran, kepatutan-kepatutan norma, kecendrungan psikologis, dan lain sebagainya tergantung perkara pidana yang diperiksa.

Jika berpikir runut berdasar ketentuan KUHAP, maka dapat ditegaskan bahwa, tidak akan ada peristiwa pidana tanpa ada saksi (fakta). Dan tidak akan ada saksi ahli tanpa adanya saksi fakta.


Saksi Ahok

Apakah dari uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa ada tiga jenis saksi dalam peradilan pidana di Indonesia yaitu, saksi fakta, saksi ahli, dan saksi NFTPP. Jika kesimpulan ini kita terima, maka para saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus Penodaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, kira-kira termasuk saksi yang mana?

Para saksi yang dihadirkan JPU ternyata, mayoritas tidak mengetahui peristiwa itu (penodaan agama, oleh Ahok, di Pulau Pramuka, pada 27 September 2016) secara langsung. Mereka hanya mendengar dan selanjutnya mengetahuinya dengan cara menonton video melalui jejaring sosial youtube.

Apakah mereka termasuk saksi fakta seperti dimaksud KUHAP?
Jelas bukan!

Lalu, apakah mereka termasuk saksi NFTPP seperti dimaksud Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana? Apakah mereka mempunyai hubungan tertentu dengan Ahok? 

Rasanya hubungan paling dekat antara para saksi dengan Ahok adalah sebatas hubungan antara warga Jakarta dengan gubernurnya.

Maka jelas, para saksi itu pun tidaklah termasuk saksi NFTPP.

Jika demikian, apakah para saksi tersebut dapat dikategorikan saksi ahli, yang keteranganya dapat dijadikan alat bukti?

Jika menyimak persidangan, maka para saksi JPU banyak memberikan keterangan dan pendapat, seperti layaknya seorang ahli yang sedang memberikan pendapat ahlinya tentang suatu hal terkait sebuah peristiwa pidana, dan menyatakan pada bagian mana pidato Ahok yang dinilainya menistakan agama dan menghina ulama. 

Pendapat dan penilaian para saksi ini segera mendapat bantahan dari tim pengacara Ahok.

Terlepas benar atau salah, pendapat para saksi tersebut, terlepas alim atau tidak alim para saksi dalam pengetahuan agamanya, yang jelas karena mereka dipanggil dalam kedudukanya sebagai saksi fakta, maka persidangan tidak berkepentingan dengan pendapat dan penilaian para saksi  tersebut.

Seorang saksi fakta dihargai kapasitasnya buknalah karena gelar, kedudukan sosial, pngkat atau mungkin kekayaanya. Seorang saksi dihargai sebuah persidangan hanya pada pandangan, seberapa dekat saksi dengan sebuah peristiwa pidana. Lain tidak! 

Jika menyimak jalanya persidangan pada agenda pemeriksaan saksi, terlihat majelis hakim memberi kesempatan luas kepada para saksi untuk menyatakan pendapatnya tentang substansi delik, seakan-akan saksi adalah seorang ahli, yang sedang memberikan pendapatnya sebagai ahli, 

Hal ini semata-mata adalah cerminan sikap bijak majelis hakim untuk menjaga perasaan massa, yang memang sejak awal telah melakukan tekanan agar persidangan Ahok segera digelar.

Kita sama mengetahui bagaimana cepatnya proses penyidikan dan penuntutan yang dilakukan pihak kepolisian dan kejaksaan pascaaksi 4 November 2016 yang lalu.

Kejaksaan bahkan hanya memerlukan waktu satu hari untuk menyusun dakwaanya dan kemudian melemparkanya ke pengadilan!!

Jelas ini adalah sebuah tindakan penistaan hukum di atas penistaan agama.

Dan memang, tuduhan penistaan agama terhadap Ahok, telah,-- dan harus, diawali dengan penistaan dialog.


.Tunggul Naibaho