Advertisement
Puluhan truk peti kemas antre di gerbang Jakarta International Container Terminal (JICT), Tanjung Priok, Jakarta, (Tempo) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Ada empat faktor khusus yang menyebabkan mahalnya biaya logistik di Indonesia, yaitu tidak imbangnya volume arus barang kirim dan arus barang balik, infrastruktur, subsidi yang bersifat sementara, dan pungutan oleh perusahaan BUMN.
Faktor keempat, yakni pungutan-pungutan yang dilakukan perusahaan BUMN, pungutan tersebut terlihat resmi, namun sebenarnya sama saja dengan pungli, hanya saja dilakukan secara struktural dan sistimatis.
"BUMN jadi salah satu biang biaya logistik tinggi. BUMN yang menaikkan biaya tarif-tarif logistik ini mirip pungli saja cuma resmi. Keuntungan besar di BUMN dipakai dari memalak pemakai jasa, Anda senang, kami susah, sama saja enggak benar" kata Ketua Umum Asosiasi Logistik Indonesia (ALI), Zaldy Ilham, kepada Gatra, di Jakarta, Rabu, 8 Februari 2017.
Menurut Zaldy, pungutan yang suka dilakukan BUMN kepada perusahaan logistik, dinilainya mirip dengan pungutan liar, tapi dilakukan secara struktural dan sistematis.
Faktor utama lainya yaitu, sebab tidak imbangnya arus barang kirim dan balik dari kontainer.
"Kebanyakan ketika dikirim lalu baliknya dalam posisi kosong. Volume enggak imbang di Jawa dan luar Jawa. Masalah klasik kirim kontainer ke Sorong dan ke AS lebih murah ke AS, ke Sorong karena baliknya nggak ada," ujar Zaldy.
Zaldy melanjutkan, penyebab kedua, yakni disebabkan oleh tingginya biaya infrastruktur. Mahalnya transportasi harusnya disikapi pemerintah dengan memberikan subsidi.
"Lalu penyebab kedua biaya logistik tinggi karena memang infrastruktur transportasi belum memadai. Kalau kita lihat dari infrastruktur yang enggak memadai, pemerintah kalau mau turunkan biaya logistik di Indonesia Timur beri subsidi ke pelayaran dan penerbangan," katanya.
Penyebab ketiga menurutnya yakni subsidi yang bersifat sementara dari pemerintah tidak efektif. Seharusnya uang itu digunakan untuk membangun sarana dan prasarana transportasi.
"Ketiga, kalau kita lihat subsidi yang sifatnya permanen daripada diberi ke pelayaran yang akan habis, lebih bajk ke pelabuhan. Sehingga, waktu tunggu enggak lama, turn over kapal cepat dan yang ambil keuntungan enggak hanya Pelni tapi semua, sifatnya jangka panjang," tutur Zaldy.
.viq