DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar

DCS ( Daftar Calon Sementara ) anggota DPRD Kota banjar
KPU Kota Banjar

06 February 2017, 14:08 WIB
Last Updated 2021-07-10T10:27:33Z
HAKIMHeadlineKETUK PALUKORUPSIMeja HijauPENGACARA

Aparat Penegak Hukum di Tanjung Pinang Bermasalah, Putusan MA Tidak Bisa Dieksekusi

Advertisement
MEJAHIJAU.NET, Batam - Aparat penegak hukum, dalam hal ini polisi dan jaksa, dinilai bermasalah karena memeroses laporan atas diri Direktur Utama Dirut PT Lobindo Nusa Persada, Yon Fredy alias Anton, secara pidana atas perkara perdata yang telah dimenangkanya hingga tingkat kasasi.

Hakim, juga dinilai bermasalah, karena melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut secara pidana, dan kini  persidanganya tengah berlangsung di PN Tanjung Pinang.

Akibat proses yang bermasalah ini, eksekusi atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan PT Gandasari Resources membayar Rp174 miliar lebih, tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya. 

"Mereka itu semua bermasalah, mereka diduga kuat terima uang," tegas Koordinator Nasional (Kornas) ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput), Fatahillah, ketika dihubungi MEJA HIJAU lewat sambungan telepon, Senin, 6 Februari 2017.

Menurut Fatahillah, di dalam hukum, ada sistim indentifikasi dan analisis hukum atas perkara yang masuk, secara praktis itu dikenal dengan gelar perkara.

"Apa polisi dan jaksa telah melakukan gelar perkara, sebelum kasus ini dilanjutkan?" kata Fatahillah dalam nada bertanya.

"Karena pemidanaan kasus ini, maka putusan MA jadi terganggu eksekusinya," kata Fatahillah.


Jejak-jejak Perdata

Apakah dalam gelar perkara polisi dan jaksa tidak melihat jejak-jejak perdata perkara yang dilaporkan, yang jejak itu bahkan sudah sampai di MA, dan sudah berhenti, karena perkara nomor 42/PDT.G/2014 tertanggal 13 November 2014, sudah memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht, kata Fatahillah.

Dalam perkara No 42/PDT.G/2014, Yon Fredy alias Anton digugat Hariadi alias Acok, selaku Dirut PT Gandasari Resources, dengan gugatan wanprestasi, atas kerjasama PT Lobindo dengan PT Gandasari dalam penambangan bauksit di Bukit II Kampung Batu Duyung RT 03/RW 03 Kelurahan Sei Enam Darat Kecamatan Bintan Timur, Kabupaten Bintan, Kepuluan Riau (Kepri).

Selaku pemilik Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di lokasi tambang tersebut, Anton melakukan gugatan balik atau gugatan rekopensi atas gugatan Acok.

Gugatan rekopensi dalam petitumnya menuntut enam hal, yaitu tuntutan pembayaran fee hasil tambang kepada PT. Lobindo sesuai perjanjian, membayar kepada pemerintah, royalti, jaminan reklamasi, denda Devisa Hasil Ekspor, dan pembayaran PBB, dan juga kewajiban membayar CSR (Coorporate Social Responsbilty) kepada masyarakat di wilayah lokasi tambang sebesar Rp75 miliar.

Total tuntutan  balik itu adalah mencapai Rp174 miliar.

Namun gugatan balik dimenangkan Anton hanya dikabulkan sebagian, majelis hakim PN Tanjung Pinang, hanya mengabulkan pembayaran fee sebesar Rp25 miliar oleh PT Gandasari kepada PT Lobindo. 

Sementara hak pemerintah dan masyarakat, tidak dikabulkan majelis hakim.

Anton, meski tuntutanya sudah dipenuhi hakim, namun memutuskan banding, karena ada hak pemerintah dan masyarakat yang diabaikan begitu saja oleh majelis hakim PN Tanjung Pinang.

"Saya lihat, Anton berjiwa patriot dan sekaligus memiliki rasa tanggungjawab kepada masyarakat, berjiwa sosial, karena dia tetap banding walau hakim sudah memenuhi hak-hak keperdataanya, karena ingin agar hak-hak masyarakat dipenuhi," kata Fatahillah.

Barulah pada tingkat banding, seluruh tuntutan Anton dipenuhi majelis hakim PT Pekanbaru, dan memerintahkan agar PT Gandasari membayar kepada PT Lobindo, Pemerintah, dan masyarakat dengan total Rp174 miliar, lewat putusan No 59/PDT/2015/PT.PBR tertanggal 03 Juni 2015.

Adapun rincian yang harus dibayarkan PT Gandasari adalah, pembayaran fee hasil tambang kepada PT. Lobindo sesuai perjanjian (Rp32 miliar), membayar kepada pemerintah, royalti (Rp42,8 miliar), jaminan reklamasi (Rp24,7 miliar), denda Devisa Hasil Ekspor (Rp100 juta), dan pembayaran PBB (Rp120 juta), dan juga kewajiban membayar CSR (Coorporate Social Responsbilty) kepada masyarakat di wilayah lokasi tambang sebesar Rp75 miliar.

Acok rupanya tidak bisa menerima putusan PT. Pekanbaru tersebut dan mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung, namun MA dengan putusanya nomor 2961/K/PDT/2015 tertanggal 11 Mei 2016 menolak kasasi Acok dan menguatkan putusan banding dan mewajibkan PT. Gandasari Resource membayar sebesar Rp174 miliar lebih, dengan rincian global, kepada PT Lobindo Rp32 miliar, pemerintah Rp68 miliar, dan kepada masyarakat dalam bentuk dana CSR sebesar Rp75 miliar.

Seharusnya kasus ini tidak perlu lanjut ke meja hijau, kata Fatahillah, apalagi deliknya adalah penggelapan. Dalam kasus yang perkara perdatanya sudah dimenangkan, maka jika yang hal yang dilaporkan ke polisi adalah hal yang sama, maka jelas nebis in idem.

"Jelas itu, nebis in idem, tidak bisa perkara yang sama diperiksa dua kali, subjek hukumnya sama, objek sama, padahal soal itu hakim hingga tingkat kasasi melalui putusanya telah memberi garis hukum dan hubungan hukum antara para pihak dan hubunganya dengan objek hukum, apa lagi yang mau dilakukan, kecuali mencoba memperkosa hukum," tandas Fatahillah.

Polisi memang wajib memerhatikan laporan masyarakat, namun tidak semua harus diproses menjadi kasus hukum, dan tidak bisa semau pelapor, kasus tersebut mau diapakan sama dia. Polisi itu aparat penegak hukum, bukan lembaga pemuas syahwat orang berduit, tandas Fatahillah.

"Jangan gara-gara uang, polisi menjadi seperti petugas yang tidak mengerti hukum, begitu juga jaksa," ucap Fatahillah.

Lalu, hakim dengan kekuasaan kehakiman yang ada padanya, memang tidak boleh menolak memeriksa perkara yang datang kepadanya, dalam arti hakim wajib lakukan pemeriksaan awal, dan jika perkara yang diajukan bukan kasus hukum, maka pemeriksaan pengadilan tidak perlu dilanjutkan.

"Hakim memang wakil Tuhan dalam memutus perkara, tetapi hakim jangan lupa, hakim juga bisa kita ukur dengan hukum, UU, dan peraturan, apakah dia bisa diukur dengan: uang atau tidak?!," tegas Fatahillah.

.tn