Advertisement
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD (Ist) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Pandangan hukum mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, yang meminta Presiden untuk menonaktifkan Basuki Tjahaja Purnama dari jabatanya sebagai Gubernur pascakampanye atau terbitkan Perppu, adalah pandangan hukum yang sangat positivistik.
Berpandangan positivistik, demi kepastian hukum tidak ada masalah. Tetapi berpandangan positivistik menjadi bermasalah dan menyesatkan, jika pandangan itu diajukan untuk menafikan historis hukum, sosiologis hukum, serta aspek-aspek lainya, yang mengikuti sebuah perkara.
Demikian dikatakan Koordinator Nasional (Kornas) ANCaR (Aliansi Nasional Cendikiawan Akar Rumput), Fatahillah Rizqi, kepada MEJA HIJAU ketika dihubungi per telepon, Jumat 10 Februari 2017, mengomentari statement Mahfud MD di media yang menilai Presiden Jokowi melanggar konstitusi jika membiarkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) kembali ke kursinya sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah cuti dan nonaktif karena mengikuti kampanye Pilkada DKI Jakarta.
Mahfud mengatakan, berdasarkan Pasal 83 Ayat (1) UU tentang Pemerintah Daerah (Pemda), seorang kepala daerah yang menjadi terdakwa harus diberhentikan sementara atau dinonaktifkan, artinya, kata Mahfud, setelah selesai kampanye dan Ahok aktif kembali menjadi Gubernur pada tanggal 11 Februari, maka pada tanggal 12 Februari, Ahok harus dinonaktifkan.
"Harus diberhentikan. Atau kalau Presiden ingin tetap Ahok menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka presiden harus mengeluarkan Perppu," kata Mahmud di Jakarta, Kamis (9/2), seperti banyak dilaporkan media.
Mahfud menegaskan, Presiden harus mengeluarkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang), karena tak ada instrumen hukum lain yang bisa membenarkan Ahok itu menjadi gubernur kembali tanpa mencabut Pasal 83 Ayat (1) UU tentang Pemda.
"Itu (Pandangan Mahfud MD) sesat dan menyesatkan. Itu pandangan hukum yang tidak mau melihat historis dan sosiologis hukum. Penetapan pasal 83 itu, kan, terutama ditujukan kepada tindak pidana korupsi, ditujukan kepada pribadi jabatan, tindak pidana yang terkait dengan jabatanya, sebagai kepala daerah," terang Fatahillah.
Atau setidak-tidaknya, lanjut Fatahillah, terkait perbuatan pure of crime, seperti pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaan, yang secara natural juga sudah dihukumi sebagai tindak kejahatan.
"Sehingga dari segi hukum pembuktian, mudah dipastikan, bahwa dengan status terdakwa yang disandang seorang kepala daerah, hampir dapat dipastikan kalau sang kepala, bersalah. sehingga tindakan menonaktfkanya, adalah tepat, karena menjunjung asas praduga tak bersalah, tidak langsung dilakukan pemecatan," kata Fatahillah.
"Lalu terkait dengan todongan penonaktifan Ahok, memangnya kasus Ahok itu, kasus apa? Apakah dengan statusnya yang sudah terdakwa, di atas 50 persen Ahok pasti bersalah. Jangankan ahli hukum dan ahli bahasa, para Ulama saja masih beda pendapat. Jangankan soal bersalah atau tidak bersalah, soal apakah kasus hukum Ahok itu patut dimejahijaukan atau tidak, masih pro kontra," kata Fatahillah.
"Ada yang mengatakan Ahok menistakan Al Quran dan menghina Ulama, tetapi banyak juga yang mengatakan tidak. Bahkan ada yang menilai, kasus Ahok ini bukan kasus hukum, tapi kasus politik," imbuh Fatahillah.
Menurut Fatahillah, pandangan Mahfud MD atau pun mereka yang sepaham, seperti Wakil Ketua DPR, Fadli Zon, adalah pandangan sesat yang tidak dibimbing hikmah dan bijaksana.
"Sila Keempat Pancasila telah menyatakan bahwa, kepemimpinan atas rakyat harus dipimpin berdasarkan hikmah dan bijaksana. Nah, kalau para pemimpin dan elit, tokoh dan cendikiawan seperti pak Mahfud sudah digerogoti oleh syahwat politik, maka siapa lagi yang mengajari dan membimbing rakyat," tandas Fatahillah sambil bertanya.
.dri