Advertisement
Kuasa Hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi. (Foto: Ist) |
MEJAHIJAU.NET, Jakarta - Kuasa Hukum Setya Novanto, Fredrich Yunadi mengecam keras langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mengebut berkas klienya, dengan tujuan menghindari proses praperadilan.
Pihak KPK menyatakan berkas perkara tersangka kasus korupsi proyek pengadaan KTP Elektrik (KTP-e) Setya Novanto telah dinyatakan P21 alias lengkap, dan siap dilimpahkan kepada pihak Penuntut Umum.
"Mereka takut menghadapi praperadilan. Mereka seperti kebakaran jenggot," kata Yunadi dalam nada tinggi di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Rabu, 6 Desember 2017.
Pihak KPK sendiri pernah kalah dalam gugatan praperadilan yang diajukan Novanto beberapa waktu lalu di PN Jakarta Selatan. Hakim tunggal, Cepi Iskandar, ketika itu, 29 September 2017, menyatakan penetapan Novanto sebagai tersangka oleh KPK adalah tidak sah.
Namun, setelah itu, KPK kembali menetapkan Novanto sebagai tersangka pada 31 Oktober 2017, yang diumumkan pimpinan KPK pada Jumat (10/11).
"Mengapa mereka ketakutan seperti itu? Tetpi saya yakin praperadilan akan tetap dijalankan," yakin Fredrich.
Hal ini disampaikan Fredrch, karena berdasarkan ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf (d) KUHAP yang berbunyi 'Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur'.
Fredirich menolak anggapan, jika perkara sudah P21 maka praperadilan gugur.
"Siapa yang bilang gugur. Kalau belajar hukum yang bener?!," ketus Fredrich.
Penafsiran Gugurnya Praperadilan
Rumusan Pasal 82 Ayat (1) huruf (d) mengenai gugurnya praperadilan akibat diperiksanya sebuah perkara, selama ini memang kerap menimbulkan berbagai penafsiran.
Ada hakim yang menafsirkan, praperadilan gugur saat perkara sudah dilimpahkan dan diregistrasi di pengadilan negeri, dengan alasan, telah terjadi peralihan wewenang yuridis dari jaksa kepada hakim. Tetapi ada juga yang menafsirkan gugurnya permintaan praperadilan ketika telah digelarnya sidang perkara.
Karena itulah, demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Putusan dengan Nomor 102/PUU-XIII/2015 tertanggal 9 November 2015, Ketua MK Arief Hidayat didampingi oleh hakim konstitusi lainnya menyatakan bahwa norma Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP yang berbunyi, “dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur” adalah bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “perkara sudah mulai diperiksa” tidak diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud.
.me